Sebagai pelabuhan niaga samudera, Barus (Lobu
Tua) diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Bahkan ada juga
yang memerkirakan lebih jauh dari itu, sekitar 5000 tahun sebelum Nabi Isa
lahir. Perkiraan terakhir itu didasarkan pada temuan bahan pengawet dari
berbagai mummy Fir'aun Mesir kuno yang salah satu bahan pengawetnya menggunakan
kamper atau kapur barus. Getah kayu itu yang paling baik kualitasnya kala itu
hanya ditemukan di sekitar Barus. Sejarawan di era kemerdekaan, Prof Muhamad
Yamin memerkirakan perdagangan rempah-rempah diantara kamper sudah dilakukan
pedagang Nusantara sejak 6000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia. Seorang
pengembara Yunani, Claudius Ptolomeus menyebutkan bahwa selain pedagang Yunani,
pedagang Venesia, India, Arab, dan juga Tiongkok lalu lalang ke Barus untuk
mendapatkan rempah-rempah. Lalu pada arsip tua India, Kathasaritsagara, sekitar
tahun 600 M, mencatat perjalanan seorang Brahmana menacari anaknya hingga ke
Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa (pulau kelapa diduga Sumatera) dengan
rute Ketaha (Kedah-Malaysia), menyusuri pantai Barat hingga ke Karpuradvipa
(Barus).
Pada sekitar tahun 627-643 atau tahun pertama
Hijriahki kelompok pedagang Arab memasuki pelabuhan Barus. Diantara mereka
tercatat nama Wahab bin Qabishah yang mendarat di Pulau Mursala pad a 627 M. Ada
juga utusan Khulafaur Rasyidin bernama Syekh Ismail yang singgah di Barus
sekitar tahun 634. Sejak itu, bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus.
Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh
penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya Silsilatus Tawarikh. Berikutnya
Dinasty Syailendra dari Champa (Muangthai) menaklukkan empirium Barus sekitar
850 M dan menamakan koloni itu seabagai Kalasapura. Setelah penaklukan itu, di
kota pelabuhan itu berdiri koloni yang terdiri dari berbagai bangsa terpisah
dari penduduk asli. Seabad setelah itu, bangsa Eropa menemukan Barus. Penjelajah
terkenal Marcopolo menjejakkan kakinya di bandar perniagaan itu pada 1292 M.
Sedangkan sejarawan muslim ternama, Ibnu Batutah, mengunjungi Barus pada 1345 M.
Berikutnya pelaut Portugis berdagang di kota ini pada 1469 M. Sedangkan pedagang
dari berbagai belahan dunia lain menyinggahi Barus, tercatat dari Srilanka,
Yaman, Persia, Inggeris, dan Spanyol.
Emporium Sarus
Banyak sejarawan muslim mengaku arti penting
pantai Barat Pulau Sumatera sebagai salah satu daerah awal masuknya Islam ke
Nusantara. Namun belum ada kesepakatan dintara mereka, apakah Barus merupakan
lokasi pertama masuknya Islam. Pandangan itu setidaknya mengemuka dalam Seminar
I "Masuknya Islam di Nusantara" yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963.
Dalam seminar itu, seorang sejarawan lokal, bernama Dada Meuraksa berkeyakinan
Islam masuk ke Barus pada tahun I Hijriah, berdasarkan penemuan batu nisan Syekh
Rukunuddin di komplek pemakaman mahligai.
Batu nisan itu menginformasikan bahwa Syekh
Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan, dan 22 hari pada tahun hamim
atau hijaratun Nabi. Meuraksa menerjemahkan ha - mim itu 8-40 yang kemudian
dijumlahkan menjadi 48 H. Perhitungan itu berdasarkan Ilmu Falak dari kitab
Tajut Mutuk. Namun pada seminar itu pandangan Meuraksa disangkal ulama terkenal
Sumut saat itu, ustadz HM Arsyad Thalib Lubis. Menurut ulama pendiri AI
Jam'iyatul Washliyah ini, bukti nisan tidak dapat dijadikan dasar penentuan.
Perbedaan itu terus berlangsung hingga belasan tahun kemudian. Baru pada 1978
sejumlah arkeolog dipirnpin Prof DR Hasan Muarif Ambary melakukan penelitian
terhadap berbagai nisan makam yang ada di sekitar daerah Barus. Pada penelitian
terhadap nisan Syekh Rukunuddin, arkeolog dari Universitas Airlangga Surabaya
itu meyakini Islam sudah masuk sejak tahun I Hijriah. Hal itu berdasarkan pada
perhitungan yang menguatkan pendapat pertama oleh sejarawan local Dada Meuraksa
yang didukung sejumlah sejarawan lainnya.
Perhitungan masuknya Islam di Barus itu
didukung pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus yang
bertuliskan aksara Arab dan Persia. Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan
Tinggi. Makam dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu, menurut
ustadz Djamaluddin Batubara, hingga kini masih ada, namun ada yang belum bisa
diterjemahkan, Hal itu disebabkan tulisannya merupakan aksara Persia kuno yang
bercampur dengan huruf Arab. Ustadz Djamaluddin Batubara memiliki teori lain
tentang keberadaan makam Syekh Mahmud yang letaknya terpencil di ketinggian
bukit Papan Tinggi, Menurutnya, Syekh Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, dan
diperkirakan datang lebih awal dari Syekh Rukunuddin, yakni pada era 10 tahun
pertama dakwah rasulullah Muhammad SAW di Mekkah, Masa kedatangan ulama, yang
diduga masih kerabat dan sahabat nabi itu, membawa ajaran Islam Tauhid tanpa
Syariat, "Itu sebabnya di makam itu belum ada penanggalan, melainkan sabda nabi
SAW yang bermakna tauhid," jelas ustadz Djamaluddin. Selain itu, ketinggian
makam itu disbanding 43 makam lain menjadi alasan terdahulunya kedatangan Syekh
Mahmud ketimbang penyebar Islam lainnya.
Dijelaskan oleh ustadz lulusan Pondok
Pesantren Purba Baru ini, Syekh Mahmud adalah merupakan penyebar Islam pertama
di Barus, sedangkan 43 ulama lainnya merupakan pengikut dan murid-muridnya. Ke
43 makam ulama penyebar Islam itu diantaranya, makam Syekh Rukunuddin, Tuanku
Batu Badan, Tuanku Ambar, Tuan Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku
Kayu Manang, Tuanku Makhodum, Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ahmad Khatib
Sidik, dan makam Imam Mua'azhansyah. Selanjutnya makam Imam Chatib Miktibai,
Tuanku Pinago, Tuanku Sultan Ibrahim bin Tuanku Sultan Muhammadsyah Chaniago,
dan makam Tuanku Digaung.
Dikatakan oleh ustadz Djamaluddin, keberadaan
Islam di Barus berhubungan langsung dengan Islam di Aceh. Beberapa arsip kuno
menunjukkan adanya tiga ulama Islam yang menghubungkan Barus dan Aceh. Misalnya,
keberadaan ulama terkenal Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin as
Sumatrani, paham paham keagamaan mereka berseberangan dengan Syekh Abdul Rauf
Singkil. Diyakini banyak sejarawan Islam, kedua ulama terdahulu bermukim dan
menyebarkan pahamnya di Barus setelah paham Wujudiah mereka mendapat serangan
dari Syekh Abdul Rauf Singkil dan tidak diakui di Kerajaan Islam Samudera Pasai,
Aceh.
Menurut ustadz Djamaluddin Batubara, etnik
Batak dikenal sangat teguh memegang adat istiadat melebihi apapun. Sedangkan
adat istiadat mereka pegang diperkuat dengan ajaran lokal Parmalim atau
Sipetebegu. Namun patut dicatat, awalnya masuknya Islam dimasa Syekh Mahmud dan
43 ulama lainnya, diperkirakan tidak ada penolakan, malah terjadi sinkretisisme
simbolik. Baru pada periode kedua masuknya Islam sekitar abad 17 M, ajaran itu
ditolak, karena berlawanan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat, "Jelasnya,
ketika Islam tauhid atau sufistik datang, tak ada penolakan. Baru ketika Islam
syariat datang masyarakat menolak," tegas Djamaluddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar