Halaman

Rabu, 20 Februari 2013

Jamaah Tabligh di Medan


Sejarah awal perkembangan Jamaah Tabligh di Medan diawali dengan kedatangan Maulana Muhammad Ibrahim dari Banglore India pada 1971. Saat tiba di Medan ia disambut oleh masyarakat Medan dengan baik. 
Seorang yang sangat tertarik dengan tabligh ini adalah Haji Jalaluddin, sehingga dalam menyampaikan dakwahnya Maulana Ibrahim selalu ditemani Haji Jalaluddin. Mereka kemudian membangun Masjid Hidayatul Islamiyah di Jalan Gajah Medan, yang kemudian menjadi pusat Jamaah Tabligh Medan. Maulana Ibrahim kemudian mencurahkan ilmunya pada Haji Jalaluddin, dan setelah ia yakin Haji Jalaluddin mampu mengembangkan Jamaah Tabligh di Medan ia pun kembali ke negara asalnya. Haji Jalaluddin kemudian menjadi amir di Medan. Setelah ia meninggal jabatan amir diteruskan oleh anaknya Haji Badruddin. 
Pengembangan dakwah yang berkesinambungan dan terus menerus menghasilkan perkembangan jumlah anggota Jamaah Tabligh di Medan. Masjid Hidayatul Islamiyah di Jalan Gajah, yang kemudian lebih dikenal dengan Masjid Jalan Gajah, menjadi sentra perkembangan jamaah ini. Berbagai halaqah kemudian berdiri di berbagai daerah di Medan dan sekitarnya, misalnya di Tanjung Mulia, Paya Pasir, dan Batang Kuis. 
Sampai saat ini, menurut Haji Badruddin, sulit untuk memastikan jumlah anggota Jamaah Tabligh di Medan. Hal ini karena Jamaah Tabligh tidak mengenal sistem formalitas administrasi keanggotaan. Namun yang jelas anggotanya terdiri dari berbagai tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan mazhab atau aliran. 
Peraturan dalam Jamaah Tabligh disebut adab atau ushul dawah, inilah yang menjadi ciri khas Jamaah Tabligh, yakni empat hal yang diperbanyak: dakwah, taklim, zikir ibadah, khidmat. Empat hal yang harus dikurangi makan-minum yang berlebihan, istirahat/tidur, berbicara yang sia-sia/tidak perlu, keluar/meninggalkan masjid. Empat hal yang harus dijaga adalah hubungan dengan amir dan jamaah lainnya, amalan infiradi dan jama’i, kehormatan masjid, sabar dan tahammul (tahan ujian). Empat hal yang harus ditinggalkan: meminta kepada yang selain Allah, mengharap kepada yang selain Allah, menggunakan barang orang lain tanpa izin, boros dan mubajir. Dan empat hal yang tidak boleh dibicarakan adalah politik, ikhtilaf, pangkat dan kedudukan, kebaikan atau jasa dan aib orang lain/masyarakat. 
Haji Badruddin juga mengatakan, Jamaah Tabligh dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam selalu mengajak orang lain untuk bergabung ke dalam Jamaah Tabligh. “Dakwah disampaikan secara targhib (kabar gembira) yakni dengan memberikan informasi tentang hal-hal yang membahagiakan apabila seseorang menjalani kehidupan sesuai dengan jalan Allah. Juga sebaliknya dengan tahrib (ancaman) yakni memberikan informasi tentang bentuk-bentuk penderitaan yang akan dialami seseorang yang keluar dari tuntunan ilahi,” terangnya. 
Lebih lanjut Haji Badruddin mengatakan, pihaknya mendakwahkan Islam kepada masyarakat tanpa mempersoalkan aliran, mazhab, dan khilafiah. “Memakmurkan masjid merupakan satu aktifitas khas Jamaah Tabligh yang dilakukan dalam setiap waktu salat, baik saat mereka di rumah maupun saat mereka berdakwah keluar. Jamaah Tabligh dalam memakmurkan masjid dengan mengisi amalan masjid seperti talim wa talum (mengajar dan belajar) yang biasa dilakukan setelah melaksanakan salat wajib,” paparnya. 
Amalan masjid yang lain yang mereka lakukan bila mukim di suatu masjid adalah membaca Al-Quran, salat tahajud, salat dhuha, dan lain-lain. Salat berjamaah di masjid merupakan amal yang sangat disiplin dilakukan oleh Jamaah Tabligh baik saat berdakwah maupun saat di rumah. Pada umumnya sebelum azan sudah datang ke masjid. 
Sedangkan, zikir dan doa merupakan ibadah yang juga menduduki posisi penting bagi Jamaah selain salat. “Lafaz zikir yang selalu kami lakukan adalah istighfar, tahmid, tasbih, takbir dan tahlil. Berdoa juga kami lakukan secara teratur untuk membuktikan manusia adalah makhluk yang lemah dan selalu membutuhkan pertolongan Allah,” katanya. 
Membudayakan salam juga merupakan aktivitas yang selalu dilakukan Jamaah Tabligh bukan saja terhadap sesama anggota tetapi juga terhadap sesama Muslim. Setiap anggota Jamaah Tabligh dilatih dengan pendekatan praksis untuk senantiasa beribadah, baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah. “Kami saling mengingatkan satu sama lain tentang pengamalan ibadah-ibadah ini. 
Setiap anggota dilatih untuk mampu menyampaikan risalah dakwah tanpa mengenal batasan tingkat pendidikan formal maupun keluasan ilmu pengetahuan ke Islaman yang dimiliki. Bagi Jamaah Tabligh, berdakwah bukan hanya dalam batas peribadatan, tetapi juga dengan memberikan teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam berakhlak,” ujarnya. 
Dalam berpakaian dan berhias Jamaah Tabligh lebih senang memakai gamis/jubah yaitu baju panjang sampai ke lutut dan dengan celana yang tidak sampai mata kaki. “Kami mewajibkan kalangan wanita menutup auratnya kecuali wajah dan telapak tangan. Pakaian ini mereka gunakan dalam semua aktivitas,”katanya.(saz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar