Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. Al
Faatihah : 6)
::: Tafsir DEPAG :::
"Ihdi": Pimpinlah, tunjukilah, berilah
hidayah
Arti "hidayah" ialah: Menunjukkan sesuatu
jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya dengan
baik.
Macam-macam hidayah petunjuk)
Allah telah memberi manusia bermacam-macam
hidayah, yaitu:
1. Hidayah naluri (garizah)
Manusia begitu juga binatang-binatang,
dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukanlah dari
pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan
ibunya. Sifat-sifat ini namanya "naluri", dalam bahasa Arab disebut
"garizah".
Umpamanya, naluri "ingin memelihara diri"
(mempertahankan hidup). Kelihatan oleh kita seorang bayi bila merasa lapar dia
menangis. Sesudah terasa di bibirnya mata susu ibunya, dihisapnyalah sampai
hilang laparnya.
Perbuatan ini dikerjakannya tak seorang juga
yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanyalah
semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya untuk mempertahankan
hidupnya.
Kelihatan pula oleh kita lebah membuat
sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lobangnya dan menimbun
makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang tersebut
ialah untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya masing-masing dengan
dorongan nalurinya semata-mata.
Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya
garizah ingin tahu, ingin mempunyai, ingin berlomba-lomba, ingin bermain, ingin
meniru, takut dan lain-lain.
Sifat-sifat garizah
Garizah-garizah itu sebagai disebutkan
terdapat pada manusia dan binatang, hanya perbedaannya ialah garizah manusia
bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi garizah binatang tidak, sebab
itulah manusia bisa maju tetapi binatang tidak, hanya tetap seperti
sediakala.
Garizah-garizah itu adalah dasar bagi kebaikan
sebagaimana dia pun juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya karena garizah ingin
memelihara diri, orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah
secara halal. Tetapi karena garizah "ingin memelihara diri" itu pulalah orang
mencuri, menipu, merampok dan lain-lain. Karena garizah "ingin tahu" pulalah
orang suka mencari-cari aib dan rahasia sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan
dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan garizah-garizah yang
lain.
Garizah-garizah itu tidak dapat dihilangkan
dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada ahli pikir dan pendidik yang hendak
memadamkan garizah karena melihat seginya yang tidak baik (jahat) itu, sebab itu
diadakan oleh mereka macam-macam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak
supaya garizah itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati.
Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan
akhlak anak-anak. Dan bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh garizah itu,
namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya
rintangan terhadap sesuatu garizah, maka kelihatan dia telah padam tetapi
manakala ada yang membangkitkannya, timbullah dia kembali. Oleh karena itu
kendatipun garizah itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana dia juga dasar bagi
kejahatan, tetapi kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya, hanya mendidik
dan melatihnya, supaya dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang
baik.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia
bermacam-macam garizah untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakai dengan
cara bijaksana oleh manusia itu.
2. Hidayah Pancaindra
Karena garizah itu sifatnya belum pasti
sebagai disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu oleh Allah swt.
manusia dilengkapi lagi dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar harganya
terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia, sebab itu ahli-ahli pendidikan
berkata:
Pancaindra itu adalah pintu-pintu
pengetahuan.
Maksudnya ialah dengan jalan pancaindra itulah
manusia dapat berhubungan dengan alam yang di luar, dengan arti bahwa sampainya
sesuatu dari alam yang di luar ini ke dalam otak manusia adalah pintu-pintu
pancaindra itu.
Tetapi garizah ditambah dengan pancaindra,
juga belum cukup lagi untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi
benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam
suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat
(yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma'qulat (yang hanya dapat
ditangkap oleh akal).
Selain dari pancaindra itu hanya dapat
menangkap alam mahsusat, tangkapannya tentang yang mahsusat itupun tidak
selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa
"illusi optik" (tiupan pandangan), dalam bahasa Arab disebut, "khida'an nazar".
Sebab itu manusia membutuhkan lagi hidayah yang kedua itu. Maka dianugerahkan
lagi oleh Allah hidayah yang ketiga, yaitu "hidayah akal".
3. Hidayah akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal itu dapatlah manusia
menyalurkan garizah ke arah yang baik agar garizah itu menjadi pokok bagi
kebaikan, dan dapatlah manusia membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya,
membedakan buruk dengan baik. Malah sangguplah dia menyusun mukadimah untuk
menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang
mahsusat sebagai tangga kepada yang ma'qulat, mempergunakan yang dapat dilihat,
diraba dan dirasai untuk menyampaikannya kepada yang abstrak, maknawi dan gaib,
mengambil dalil dari adanya makhluk untuk adanya khalik, dan begitulah
seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum lagi memadai
untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping
berbagai macam garizah dan pancaindra itu.
Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang
baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak
manusia yang masih mempergunakan akalnya, atau akalnya dikalahkan oleh hawa
nafsu dan sentimennya. Hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya dan
yang baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa garizah
ditambah dengan pancaindra ditambah pula dengan akal belum lagi cukup untuk
menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani
dan rohani, di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu manusia membutuhkan suatu
hidayah lagi, di samping pancaindra dan akalnya itu, yaitu hidayah agama yang
dibawa oleh para rasul `alaihimus shalatu wassalam.
b. Bibit agama dan akidah tauhid pada jiwa
manusia
Dalam pada itu kalau diperhatikan agama-agama
dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (Al-Adyan Al-Wad'iyyah)
kelihatan pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit suka beragama. Yang demikian
itu karena manusia itu mempunyai sifat merasa berhutang budi suka berterima
kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka di kala
diperhatikan dirinya dan alam yang di sekelilingnya, umpamanya roti yang
dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang
digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari
langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, akan merasa berutang budilah dia kepada
"suatu Zat" yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar
itu kepadanya.
Didapatnyalah dengan akalnya bahwa Zat yang
gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis
manusia seluruhnya, segala sesuatu yang ada di alam ini, segala sesuatu yang
dibutuhkannya untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya.
Karena dia merasa berutang budi kepada suatu
Zat Yang Gaib itu, maka dipikirkannyalah bagaimana cara berterima kasih dan
membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara "menyembah Zat Yang
Gaib itu".
Akan tetapi masalah bagaimana cara menyembah
Zat Yang Gaib itu, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai
oleh akal manusia. Sebab itu di dalam sejarah kelihatan bahwa tidak pernah
adanya keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikirannya akan membawanya kepada
kepercayaan membesarkan alam di samping membesarkan Zat Yang Gaib
itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan karena
belum dapat dia menggambarkan di otaknya bagaimana menyembah "Zat Yang Gaib",
maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, atau yang indah, atau
yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi pelambang bagi
Zat Yang Gaib itu.
Pernah dia mengagumi matahari, bulan dan
bintang-bintang, atau sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnyalah
benda-benda itu, sebagai lambang bagi menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu,
dan diciptakannyalah cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.
Dengan ini timbullah pula suatu macam
kepercayaan, yang dinamakan "Kepercayaan menyembah kekuatan alam", sebagai yang
terdapat di Mesir, Kaldania, Babilonia, Assyiria dan di tempat-tempat lain di
zaman purbakala.
Dengan keterangan itu kelihatanlah bahwa
manusia menurut fitrahnya suka beragama, suka memikirkan dari mana datangnya
alam ini, dan ke manakah kembalinya.
Bila dia memikirkan dari mana datangnya alam
ini, akan sampailah dia pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan
sampailah dia kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan itu (tauhid), karena akidah
(keyakinan) tentang keesaan inilah yang lebih mudah, dan lebih lekas dipahami
oleh akal manusia. Karena itu dapatlah kita tegaskan bahwa manusia itu menurut
nalurinya adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa
Kaldania pada mulanya adalah beragama tauhid, barulah kemudian mereka menyembah
matahari, planet- planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan
patung-patung. Sesudah Raja Namruz meninggal, mereka pun mendewakan dan
menyembah Namruz itu. Bangsa Assyiria pun pada asalnya beragama tauhid, kemudian
mereka telah lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka persekutukanlah Tuhan
dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang
Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, maka bila diperhatikan
nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan,
jelaslah bahwa bukan seluruh bangsa Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan
wasani, melainkan di antara mereka juga ada orang-orang muwahhidin, penganut
akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan
berikut:
"Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu
bagi-Nya"
"Dia mencintai seluruh makhluk, sedang dia
sendiri tak ada yang menciptakan-Nya"
"Dialah Tuhan Yang Maha Agung, Pemilik langit
dan bumi dan pencipta seluruh makhluk"
Umat manusia yang dengan akalnya itu telah
sampai kepada akidah tauhid. Akidah tauhid ini sering menjadi kabur, atau tidak
murni lagi, dan jadilah mempersekutukan Tuhan yang menonjol di antara mereka.
Biar pun pendeta-pendeta mereka masih tetap dalam ketauhidannya, akan tetapi
pendeta-pendeta ini kadang-kadang takut atau segan untuk memberantas kepercayaan
mempersekutukan Tuhan itu, bahkan ikut hanyut dalam arus masyarakat, yakni arus
mempersekutukan Tuhan.
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak
pernah lenyap sama sekali, melainkan kepercayaan kepada adanya suatu Zat Yang
Maha Esa itu tetap ada. Dialah Pencipta seluruh yang ada ini. Tuhan-tuhan atau
dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau
simbol Yang Maha Esa itu.
c. Pendapat Bangsa Arab sebelum Islam tentang
Khalik (Pencipta)
Bangsa Arab sendiri pun sebelum datang agama
Islam, kalau ditanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi
ini?" Mereka menjawab, "Allah." Dan kalau ditanyakan, "Adakah Al-Lata dan
Al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada alam ini"? Mereka menjawab, "Tidak."
Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat
dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah swt. berfirman menceritakan
perkataan musyrikin Arab itu:
Artinya:
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan (kedudukan) kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Q.S
Az Zumar: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai
oleh akal
Manakala manusia itu memikirkan ke manakah
kembalinya alam ini, akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di
dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi.
Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah
yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di
hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya tentu saja tidak, sejarah pun telah
membuktikan hal ini.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa
manusia telah diberi Allah akal untuk jadi hidayah baginya, di samping garizah
dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan
hidupnya di dunia dan akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka
beragama, dan dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Akan
tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur
dan tidak murni lagi.
Dalam pada itu manusia dengan mempergunakan
akalnya juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, akan tetapi
hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan
akhirat. Maka untuk menyampaikan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang
tidak dicampuri sedikit juga oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan
membesarkan selain Allah, dan untuk membentangkan jalan yang benar yang akan
ditempuhnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dan
untuk jadi pedoman bagi hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain
di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka didatangkanlah oleh
Allah hidayah yang keempat yaitu "agama" yang dibawa oleh para rasul.
4. Hidayah agama
a. Pokok-pokok agama ketuhanan
Karena hal-hal yang disebutkan itu, maka
diutuslah oleh Allah rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan
kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka dunia dan
akhirat.
Adalah yang mula-mula ditanamkan oleh
rasul-rasul itu kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan iktikad manusia dari kotoran
syirik (mempersekutukan Tuhan).
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan
tauhid itu dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan
dalil-dalil yang tepat dan logis. (Ingatlah kepada soal-jawab antara Nabi
Ibrahim dengan Namruz, Nabi Musa dengan Firaun, dan seruan-seruan Alquran kepada
kaum musyrikin Quraisy agar mereka mempergunakan akal).
Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan
Yang Maha Esa, rasul-rasul juga membawa kepercayaan tentang akhirat dan
malaikat-malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari
kemudian itu, itulah yang dinamakan Al-Iman bil Gaib (percaya kepada yang gaib).
Dan itulah yang jadi pokok bagi semua agama Ketuhanan, dengan arti bahwa semua
agama yang datangnya dari Tuhan mempercayai keesaan Tuhan, serta malaikat dan
hari akhirat.
Di samping `aqaid (kepercayaan-kepercayaan)
yang disebutkan itu, rasul-rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan,
akhlak dan pelajaran-pelajaran.
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini
berlain-lainan, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama
dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa tidak
serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Sebabnya ialah karena hukum-hukum dan
peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka
syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya
masing-masing. Jadi yang berlain-lainan itu ialah hukum-hukum furu`
(cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah
sama.
Berhubung Muhammad saw. adalah seorang nabi
penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Tuhan sifat-sifat tertentu agar
sesuai dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan kepada
Tuhan
Agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup
yang penghabisan, atau jalan kebahagiaan yang terakhir, telah dianugerahkan
Tuhan, tetapi adakah orang pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua
hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang dibentangkan oleh Tuhan.
Tidak banyak manusia yang pandai menerapkan
agama, beribadat (menyembah Allah) sebagai yang diridai oleh yang disembah,
bahkan pelaksanaan syariat tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Pembuat
syariat itu.
Karena itu kita diajari Allah memohonkan
kepada-Nya agar diberi-Nya ma`unah, dibimbing dan dijaga-Nya selama-lamanya
serta diberi-Nya taufik agar dapat memakai semua macam hidayah yang telah
dianugerahkan-Nya itu menurut semestinya. Garizah-garizah supaya dapat
disalurkan ke arah yang baik, pancaindra supaya berfungsi betul, akal supaya
sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan
menurut yang dimaksud oleh yang menurunkan agama itu dengan tidak ada cacat,
janggal dan salah.
Tegasnya manusia yang telah diberi Tuhan
bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas (garizah-garizah, pancaindra,
akal dan agama) belum dapat mencukupkan semata-mata hidayah-hidayah itu saja,
tetapi dia masih membutuhkan ma`unah dan bimbingan dari Allah (yaitu
taufik-Nya).
Maka ma`unah dan bimbingan itulah yang kita
mohonkan dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu.
Dengan perkataan lain, Allah telah memberi
kita hidayah-hidayah tersebut, tak ubahnya seakan-akan Dia telah membentangkan
di muka kita jalan raya yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidup duniawi dan
ukhrawi, maka yang dimohonkan kepada-Nya lagi ialah "membimbing kita dalam
menjalani jalan yang telah terbentang itu".
Dengan ringkas hidayah dalam ayat
"ihdinassiratal mustaqim" ini berarti "taufik" (bimbingan), dan taufik itulah
yang dimohonkan di sini kepada Allah.
Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah
kita berusaha dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan
sepenuh tenaga adalah kewajiban kita, tetapi sampai berhasil sesuatu usaha
adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan ini kelihatanlah pertalian ayat ini
dengan ayat yang sebelumnya. Ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya
supaya menyembah memohonkan pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini
Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana
memohonkannya.
Maka tak ada pertentangan antara kedua firman
Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi yang
berbunyi:
Artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus. (Q.S Asy Syura: 52)
Dan firman-Nya:
Artinya:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allahlah yang dapat memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S Al Qasas: 56)
Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat
pertama, ialah menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan ini memang adalah
tugas nabi. Tetapi yang dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah membimbing
manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan
berbahagia dalam perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan Nabi,
hanya adalah hak Allah semata-mata.
Artinya:
Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada
yang dituju). (Q.S Al Fatihah: 6)
Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus
itu?
Di atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul
telah membawa `aqaid (kepercayaan-kepercayaan) hukum-hukum, peraturan-peraturan,
akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya telah membawa segala sesuatu yang
perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Maka aqaid, hukum-hukum, peraturan-peraturan,
akhlak dan pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu,
karena dialah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat sebagai disebutkan.
Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita
memohon kepada Tuhan: "Bimbing dan beri taufiklah kami, ya Allah dalam
melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan
beri taufiklah kami dalam melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan beri
taufiklah kami dalam melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta
pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia,
agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat".
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat. (QS. Al Faatihah :7)
::: Tafsir DEPAG :::
Setelah Allah SWT. mengajarkan kepada
hamba-Nya untuk memohonkan kepada Allah agar selalu dibimbing-Nya menuju jalan
yang lurus dan benar, maka pada ayat ini Tuhan menerangkan apa jalan yang lurus
itu.
Sebelum Alquranul Karim diturunkan, Tuhan
telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya yang lain, dan sebelum Nabi Muhammad
diutus Allah telah mengutus rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini
telah banyak umat terdahulu.
Di antara umat-umat yang terdahulu itu
terdapat nabi-nabi, siddiqin yang membenarkan rasul-rasul dengan jujur dan
patuh, syuhada yang telah mengorbankan jiwa dan harta untuk kemuliaan agama
Allah, dan orang-orang saleh yang telah membuat kebajikan dan menjauhi larangan
Allah.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi
nikmat oleh Allah, dan kita diajar Tuhan supaya memohonkan kepada-Nya, agar
diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah memberi taufik dan
membimbing mereka. Artinya sebagaimana mereka telah berbahagia dalam aqaid, dan
dalam menjalankan hukum-hukum serta peraturan-peraturan agama, mereka telah
mempunyai akhlak dan budi pekerti yang mulia, maka demikian pulalah kita
hendaknya. Dengan perkataan lain, Allah menyuruh kita supaya mengambil contoh
dan tauladan kepada mereka yang telah terdahulu itu.
Timbul pertanyaan kenapakah Tuhan menyuruh
kita mengikuti jalan mereka yang telah terdahulu itu, padahal dalam agama kita
ada pelajaran-pelajaran hukum, petunjuk-petunjuk yang tak ada pada
mereka?
Jawabnya: Sebetulnya agama Allah itu adalah
satu, kendatipun ada perbedaannya, tetapi perbedaan itu ialah pada
furu'-furu`nya, sedang pokok-pokoknya adalah serupa sebagai disebutkan di
atas.
Sebagaimana di dalam umat-umat yang telah
terdahulu itu terdapat orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Tuhan, maka
terdapat pula di antara mereka orang-orang yang dimurkai Allah dan orang-orang
yang sesat.
Orang yang dimurkai Allah itu ialah mereka
yang tak mau menerima seruan Allah yang disampaikan oleh rasul-rasul, karena
berlainan dengan apa yang mereka biasakan, atau karena tidak sesuai dengan hawa
nafsu mereka, kendatipun telah jelas bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul itulah
yang benar. Masuk juga dalam golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima
apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi kemudian lantaran sesuatu sebab
mereka membelot, dan membelakangi pelajaran-pelajaran yang dibawa oleh
rasul-rasul itu.
Di dalam sejarah banyak ditemukan orang-orang
yang dimurkai Tuhan itu, sejak di dunia ini mereka telah diazab, sebagai balasan
yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara murka mereka. Umpamanya kaum `Ad
dan Samud yang telah dibinasakan oleh Allah, yang sampai sekarang masih ada
bekas-bekas peninggalan mereka di Jazirah Arab. Begitu juga Firaun dan kaumnya
yang telah dibinasakan Tuhan di Laut Merah. Mumi Firaun yaitu bangkainya telah
dibalsem sampai sekarang masih ada disimpan dalam museum Mesir.
Adapun orang-orang yang sesat, ialah mereka
yang tidak betul kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan dan amal ibadahnya
serta rusak budi pekertinya.
Bila akidah seseorang tidak betul lagi, atau
pekerjaan dan amal ibadahnya salah, dan akhlaknya telah rusak akan celakalah dia
dan kalau sesuatu bangsa berkeadaan demikian akan jatuhlah bangsa
itu.
Maka dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya
supaya memohonkan kepada-Nya agar terjauh dari kemurkaan-Nya, dan terhindar dari
kesesatan, dan di dalamnya juga tersimpul suruhan Allah supaya manusia mengambil
pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa yang telah terdahulu. Alangkah banyaknya
dalam sejarah itu kejadian-kejadian yang dapat dijadikan iktibar dan
pelajaran.
Dalam pada itu di dalam Alquranul Karim
sendiri banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan umat dan bangsa-bangsa yang
dahulu. Boleh dibilang 75% isi Alquran adalah kisah dan cerita. Memang tak ada
suatu juga yang lebih besar pengaruhnya kepada jiwa manusia daripada
contoh-contoh dan perbandingan-perbandingan yang terdapat dalam cerita-cerita,
kisah-kisah dan sejarah.
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat adalah Surah An Nisaa' 69
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul
(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An Nisaa' :
69)
::: Tafsir DEPAG :::
Sebab turunnya ayat ini menurut riwayat At
Tabari dan Ibnu Mardawaih dari 'Aisyah ra. "Bahwa seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah saw dan berkata: "Ya Rasulullah sesungguhnya saya lebih
mencintaimu dari diri saya dan anak saya. Apabila saya berada di rumah, saya
selalu teringat padamu: sehingga saya tidak sabar dan terus datang untuk
melihatmu. Dan apabila saya teringat tentang kematian saya dan kematianmu, maka
tahulah (sadarlah) saya. bahwa engkau apabila masuk surga berada di tempat yang
tinggi bersama-sama para Nabi, sedang saya apabila masuk surga, saya takut tidak
akan melihatmu lagi. Mendengar itu Rasulullah diam tidak menjawab, dan kemudian
turunlah ayat ini".
Pada ayat ini Allah mengajak dan mendorong
setiap orang, supaya taat kepada Nya dan kepada Rasul Nya dengan menjanjikan
secara pasti. akan membalas ketaatan dengan pahala yang sangat besar, yaitu
bukan saja sekadar masuk surga, tetapi akan ditempatkan bersama-sama dengan
orang-orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan, yaitu Nabi-nabi, para
siddiqin, para syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan orang-orang yang
saleh.
Berdasarkan ayat ini para ahli tafsir secara
garis besarnya membagi orang-orang yang memperoleh anugerah Allah yang paling
besar di dalam surga kepada empat macam yaitu:
1. Para Rasul dan Nabi-nabi, yaitu mereka yang
menerima wahyu dari Allah SWT.
2. Para siddiqin, yaitu orang-orang yang teguh
keimanannya kepada kebenaran Nabi dan Rasul.
3. Para syuhada dibagi pula urutannya sebagai
berikut:
a. Orang-orang beriman yang berjuang di jalan
Allah dan mati terbunuh di dalam peperangan melawan orang-oang kafir
b. Orang-orang yang menghabiskan usianya
berjuang di jalan Allah dengan harta; dan dengan segala macam jalan yang dapat
dilaksanakannya.
c. Orang-orang beriman yang mati ditimpa
musibah yang mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam di
lautan, terbunuh dengan aniaya. Bagian (a) disebut syahid dunia dan akhirat yang
lebih tinggi pahalanya dari bagian (b) dan (c) yang keduanya hanya dinamakan
syahid akhirat. Dan ada satu bagian lagi yang disebut namanya syahid dunia,
yaitu orang-orang yang mati berperang melawan kafir, hanya untuk mencari
keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama
dan sebagainya. Syahid yang serupa ini tidak dimasukkan pembagian syahid di
atas, karena syahid dunia tersebut tidak termaksud sama sekali dalam kedua ayat
ini.
4. Orang-orang saleh, yaitu orang-orang yang
selalu berbuat amal baik yang bermanfaat untuk umum, termasuk dirinya dan
keluarganya baik untuk kebahagiaan hidup duniawi maupun untuk kebahagiaan hidup
ukhrawi yang sesuai dengan ajaran Allah.
Orang-orang yang benar-benar taat kepada Allah
dan Rasul-Nya sebagaimana yang tersebut dalam ayat ini akan dapat masuk surga
dan ditempatkan bersama-sama dengan semua golongan yang empat itu.
::: Asbabun Nuzul :::
Thabrani dan Ibnu Murdawaih mengetengahkan
dengan sanad yang tak ada jeleknya dari Aisyah, katanya, "Seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah saw. lalu katanya, 'Wahai Rasulullah! Anda lebih saya
cintai dari diri saya, dan lebih saya kasihi dari anak saya. Mungkin suatu saat
saya sedang berada di rumah, lalu teringat kepada Anda, maka hati saya tak sabar
hingga saya datang dan sempat melihat wajah Anda. Dan jika saya ingat akan
kematian saya dan kematian Anda, saya pun maklum bahwa tempat Anda ditinggikan
bersama para nabi, saya khawatir jika saya masuk surga tidak akan sempat melihat
Anda lagi.' Nabi saw. tidak menjawab sedikit pun hingga turunlah Jibril membawa
ayat ini, 'Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan kepada rasul...' sampai
akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 69) Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Masruq, bahwa
para sahabat Nabi saw. mengatakan, "Wahai Rasulullah! Tidak sepatutnya kami
berpisah dengan Anda, karena sekiranya Anda wafat, maka Anda akan dinaikkan di
atas kami hingga kami tidak sempat melihat Anda lagi. Maka Allah pun menurunkan,
'Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul...' sampai akhir ayat." (Q.S.
An-Nisa 69) Dan diriwayatkan dari Ikrimah, katanya, "Seorang anak muda datang
kepada Nabi saw. lalu katanya, 'Wahai Nabi Allah! Di dunia ini sesekali kami
dapat juga melihat Anda, tetapi di hari kiamat kami tak dapat melihat Anda lagi
karena Anda berada dalam surga pada tingkat yang tinggi.' Maka Allah pun
menurunkan ayat ini. Lalu sabda Rasulullah saw. kepadanya, 'Kamu insya Allah
berada bersama saya di dalam surga.'" Ibnu Jarir mengetengahkan pula yang sama
dengan itu dari mursal Said bin Jubair, Masruq, Rabi', Qatadah dan
As-Saddiy.
Jadi, kita harus ada kesungguh-sungguhan untuk
usaha atas hidayah sebagai mana disebutkan dalam Surah Al 'Ankabuut
69
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari)
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(QS. Al
'Ankabuut : 69)
::: Tafsir DEPAG :::
Ayat ini menerangkan janji yang mulia dari
Allah SWT kepada orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan
mengorbankan jiwanya dan hartanya serta menanggung siksaan dan rintangan. Karena
itu Allah SWT akan memberi mereka petunjuk dan membulatkan tekad dan memberikan
bantuan, sehingga mereka memperoleh kemenangan di dunia dan kebahagiaan serta
kemuliaan di akhirat kelak.
Allah SWT berfirman:
Artinya:
Sesunguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya (Q.S. Al Hajj: 40)
Yang dimaksud dengan jihad di sini ialah
melakukan segala macam usaha untuk menegakkan agama Allah dan meninggikan
kalimat-Nya, seperti memerangi orang-orang kafir yang ingin memusnahkan Islam
dan kaum Muslimin, menyiarkan agama Islam dan sebagainya.
Menurut Abu Sulaiman Ad Darami "jihad" dalam
ayat ini bukan berarti memerangi orang-orang kafir saja, melainkan juga berarti
mempertahankan agama, memberantas kelaliman. Dan yang terutama ialah
menganjurkan berbuat yang makruf dan melarang dari perbuatan yang mungkar,
memerangi hawa nafsu dalam menaati Allah.
Mereka yang berjihad itu dijanjikan Allah akan
diberi-Nya jalan yang lapang. Janji ini pasti Allah melaksanakannya, sebagaimana
firman-Nya:
Artinya:
Dan Kami selalu berkewajiban menolong
orang-orang yang beriman (Q.S. Ar Rum: 47)
Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang-orang
yang berjihad di jalan Allah itu adalah orang-orang yang berbuat baik. Hal ini
berarti bahwa segala macam perbuatan, sesuai dengan yang digariskan Allah dalam
berjihad itu adalah perbuatan baik, dan orangnya adalah orang yang berbuat baik
(muhsin). Dinamakan demikian karena orang-orang yang berjihad itu selalu
berjalan di jalan Allah, dan orang-orang yang tidak mau berjihad adalah orang
yang jelek, sebab ia telah membangkang terhadap perintah Allah untuk melakukan
jihad Orang itu adalah orang yang sesat, karena dia tidak mau melalui jalan yang
lurus yang telah dibentangkan-Nya.
Sehubungan dengan arti "ihsan" ini lbnu Abi
Hatim meriwayatkan dari Sya'bi bahwa Nabi Isa as bersabda: "Yang dikatakan ihsan
ialah : apabila seseorang berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat jelek
kepadanya. Ihsan itu bukan berarti berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat
baik kepadanya".
Dinyatakan dalam ayat ini bahwa setiap orang
yang selalu berjihad di jalan Allah, Allah SWT selalu beserta orang-orang yang
berperang di jalan-Nya, memerangi hawa nafsu, mengusir semua waswas setan dari
hatinya, dan tak pernah menyia-nyiakan agama-Nya. Pernyataan ini dapat
menenteramkan hati orang yang beriman dalam menghadapi orang-orang kafir dan
dapat membangkitkan semangat mereka berjuang di jalan-Nya.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang-orang
yang berjihad untuk mencari keridaan Allah, pasti akan ditunjukkan kepada mereka
jalan-Nya. Dari ayat ini dipahami bahwa lapangan jihad yang luas dapat berupa
perkataan, tulisan, lisan dan kalau perlu, jihad itu dapat dilakukan dengan
senjata. Karena luas dan banyaknya lapangan jihad berarti banyak sekali
jalan-jalan yang dapat ditempuh seorang mukmin untuk sampai kepada keridaan
Allah, asal semua jalan itu didasarkan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan
kebaikan.
::: Asbabun Nuzul :::
Imam Tirmizi mengetengahkan sebuah hadis
melalui Abu Said yang menceritakan, bahwa ketika perang Badar meletus
orang-orang Romawi mengalami kemenangan atas orang-orang Persia. Maka hal itu
membuat takjub orang-orang Mukmin, lalu turunlah firman-Nya, "Alif lam mim.
Telah dikalahkan bangsa Romawi..." (Q.S. Ar-Rum 1-2) sampai dengan firman-Nya,
"...karena pertolongan Allah." (Q.S. Ar-Rum 5) Ibnu Jarir mengetengahkan pula
hadis yang serupa melalui Ibnu Mas'ud r.a. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah
hadis melalui Ibnu Syihab yang menceritakan, bahwa telah sampai suatu berita
kepada kami, bahwa orang-orang musyrik mendebat kaum Muslimin yang tinggal di
Mekah sebelum Rasulullah saw. berangkat keluar (ke medan perang Badar).
Orang-orang musyrik itu mengatakan kepada kaum Muslimin Mekah, "Orang-orang
Romawi itu mengakui bahwa mereka adalah ahli kitab, tetapi mereka ternyata dapat
dikalahkan oleh orang-orang Persia yang Majusi. Dan kalian menduga bahwa kalian
akan dapat mengalahkan kami dengan Kitab (Alquran) yang diturunkan kepada Nabi
kalian. Mengapa orang-orang Persia yang beragama Majusi itu dapat mengalahkan
orang-orang Romawi yang ahli Kitab? Maka kami pun pasti akan dapat mengalahkan
kalian sebagaimana orang-orang Persia dapat mengalahkan orang-orang Romawi."
Setelah itu maka Allah swt. menurunkan firman-Nya, "Alif lam mim. Telah
dikalahkan bangsa Romawi..." (Q.S. Ar-Rum 1-2) Ibnu Jarir telah mengetengahkan
pula hadis yang serupa melalui Ikrimah, Yahya Bin Ya'mur dan Qatadah. Menurut
riwayat yang pertama pada hadis yang pertama, yaitu riwayat yang membaca fathah
huruf ghain-nya, sehingga bacaannya menjadi ghalabatir ruumu. Karena ayat ini
diturunkan ketika kaum Muslimin memperoleh kemenangan atas orang-orang musyrik
Mekah dalam medan perang Badar. Menurut qiraat yang kedua yaitu yang membaca
damah huruf ghain-nya, sehingga bacaannya menjadi ghulibatir ruumu. Dengan
demikian maka makna ayat menjadi; bahwa orang-orang Romawi sesudah mereka
mengalami kemenangan atas orang-orang Persia, mereka akan dikalahkan oleh kaum
Muslimin. Penafsiran qiraat ini dimaksud supaya makna ayat sealur dengan
kejadiannya, apabila tidak demikian maka perubahan qiraat ini tidak mempunyai
arti yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar