Ada seseorang mengajukan pertanyaan berikut
kepada Maulana Zakariyya:
Nampaknya, masalah pribadi berpengaruh besar
dalam menentukan tindakan dan niat seseorang, dan terlihat seolah-olah setiap
orang sedang menuruti nafsunya sendiri. Bagaimana pendapat Anda?
Jawaban Maulana:
Tidak sulit membayangkan bahwa sebagian orang
memang seperti yang Anda sebutkan. Jika tidak semuanya, pasti sebagian mereka
berbuat sesuatu karena tuntutan hawa nafsunya. Bila nafsu dituruti sudah tentu,
akan berakibat pada kerusakan dan bencana di mana-mana. Hal ini dapat dipastikan
bahwa itu sekadar alasan untuk menolak anjuran Islam. Jika kita menerima dan
mentaati ajaran Islam, tentu tiada satu pun kerusakan yang dapat terjadi di
dunia ini. Tidak ragu lagi, siapa yang melaksanakan amalan dan tugas agama untuk
memuaskan nafsunya, maka ia sama dengan menzhalimi dirinya sendiri. Rasulullah
saw. bersabda,
"Sesungguhnya ( ganjaran bagi ) setiap amal
itu ( bergantung ) pada niat. Dan bagi setiap orang adalah apa yang
diniatkannya."
Ketika Rasulullah saw. mengutus Mu'adz ra. ke
Yaman, ia meminta Rasulullah saw. agar memberinya nasehat. Rasulullah saw.
mewasiatkan agar senantiasa ikhlas dalam setiap amalan, lalu bersabda,
"Perbuatan baik walaupun sedikit, jika dilakukan dengan ikhlas sudah mencukupi."
Disebutkan dalam hadits lain, "Kegembiraan Allah dilimpahkan ke atas Mukhlisin (
orang-orang yang ikhlas ). Mereka seperti cahaya-cahaya hidayah. Dan melalui
mereka setiap fitnah terburuk akan dihapuskan."
Sa'ad ra. -seorang sahabat terkemuka--, suatu
ketika bimbang dengan amal perbuatannya. Rasulullah saw. pun memperingatkannya,
"Pertolongan Allah atas umat ini melalui orang-orang yang lemah, melalui shalat
mereka, doa-doa mereka dan keikhlasan mereka."
Rasulullah saw. juga bersabda, "Sesungguhnya
Allah tidak melihat jasad dan wajahmu, tetapi Allah hanya melihat hatimu ( yaitu
niat apa yang mendasari perbuatanmu )." Allah swt. berfirman,
"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya akan Kami sempurnakan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dan mereka di dunia ini tidak dirugikan. Mereka itulah
orang-orang yang tidak mendapatkan di akherat, kecuali neraka dan lenyaplah di
akherat itu apa yang telah mereka usahakan ( di dunia ) dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan." ( Huud: 15-16 ).
Banyak hadits menjelaskan maksud ayat ini, di antaranya sabda beliau bahwa barangsiapa menjadikan maksud hidupnya hanya untuk dunia, Allah akan memberinya kesusahan atasnya dan ia akan selalu memikirkan hal-hal mengenainya. Dan barangsiapa menjadikan akherat sebagai maksud utamanya, maka Allah akan menolongnya, memenuhi hatinya dengan kecukupan, dan dunia akan menawarkan dirinya dengan keadaan hina. Menurut sebuah hadits lain, Allah berfirman, "Wahai Anak Adam! Luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, maka akan Kupenuhi hatimu dengan rasa cukup dan menghapuskan segala kebimbanganmu. Jika tidak, akan Kupenuhi hatimu dengan kesibukan yang berkepanjangan tanpa hilang dari pikiranmu."
Dengan demikian, mereka yang tujuan hidupnya hanya duniawi, maka segala ibadah dan usaha mereka adalah sia-sia.
Ka'ab ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Berilah kabar gembira kepada umat ini bahwa mereka akan sukses, kuat beragama, dan berkedudukan tinggi dan menguasai bumi. Namun, siapa yang beramal akherat demi mencapai keduniaan, maka tidak ada bagian baginya di akherat."
Diriwayatkan, ada seorang sahabat berkata, "Aku bangun untuk beramal shaleh dengan tujuan ridha Allah, juga agar namaku disebut ( maka di tingkat manakah aku? ). Mendengar hal ini Rasulullah saw. terdiam, sehingga turun ayat Alquran yang berikut,
"Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan
dengan Tuhannya, hendaklah ia beramal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan
sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya." ( Al-Kahfi: 110 ).
Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa,
"Barangsiapa beramal dengan riya dan untuk kemasyhuran, maka di akherat Allah
akan memasyhurkannya ( niat buruknya akan diumumkan kepada semua orang ), dan ia
akan dihinakan." Rasulullah saw. pun bersabda, "Kebimbanganku yang terbesar atas
umat ini adalah 'syirik Asyghar'." Para sahabat bertanya, "Apa itu syirik
Asyghar?" Rasulullah saw. menjawab, "Beramal dengan riya ( ingin dilihat orang
). Pada hari Kiamat, Allah berfirman kepada orang itu, "Pergi! dan dapatkan
pahala dari orang yang ingin kamu tujukkan amalanmu itu."
Berbagai hadits menjelaskan masalah ini, bahwa
segala amal yang dilakukan untuk mendapat nama dan kemasyhuran atau bertujuan
untuk memperoleh harta atau keuntungan duniawi tanpa diniati untuk ridha Allah,
maka semuanya akan sia-sia tanpa mendatangkan manfaat apapun.
Sebelum ini, kita telah membahas tentang jihad
dan menyebutkan hadits-hadits yang berkaitan dengan niat. Di sini kita akan
membicarakan hadits yang berbunyi,
"Berjihad untuk mencari nama dan kemasyhuran
tidak akan diterima oleh Allah."
Suatu ketika, seorang sahabat melintas di
hadapan Rasululah saw. memperlihatkan kekuatan badannya serta bentuk badannya
yang segar bugar. Para sahabat pun berkata, "Alangkah baiknya jika dalam keadaan
seperti itu ia pergi berjihad ke jalan Allah?" Jawab Rasulullah saw., "Jika ia
keluar bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang kecil, maka ia berjihad di
jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk membantu kedua orang tuanya, ia juga
berjihad di jalan Allah. Dan jika ia keluar untuk menafkahi dirinya sendiri dan
menyelamatkan dirinya dari memakan dan berbuat sesuatu yang haram, ia juga
berjihad di jalan Allah. Tetapi jika ia keluar untuk mencari nama dan
kemasyhuran agar dilihat oleh orang lain, maka ia di jalan syetan." ( Sumber:
Kitab At-Targhib).
Hadits di atas dan hadits-hadits yang serupa
dengannya, jelas menunjukkan bahwa berjihad di jalan Allah bukan saja terbatas
pada jihad yang hakiki, atau pada amalan yang bukan wajib atau ibadah-ibadah
yang tertentu. Tidak. Selain ibadah wajib dan amal-amal shaleh lainnya yang
disertai dengan niat mendapat ridha Allah, semua termasuk di jalan
Allah.
Siapa yang berpikir bahwa berkhidmat kepada
agama hanyalah dengan sibuk beribadah, atau menganggap bahwa terjun dalam urusan
yang mubah itu bertentangan dengan agama, maka sebenarnya ia telah melakukan
kekeliruan besar. Tiada seorang pun dari kalangan ulama mu'tabar yang berkata
kepada seseorang, jangan mencari nafkah atau tinggalkan sama sekali. Sebenarnya,
masalah yang terpenting adalah jangan menjadikan mencari duniawi sebagai tujuan
hidup. Hendaklah kita mencari nafkah semata-mata untuk mendapat ridha Allah.
Jangan melakukannya untuk mendapatkan kemasyhuran, kedudukan, kebanggaan,
keangkuhan atau untuk diperlihatkan kepada orang lain.
Dengan demikian, terdapat gambaran sebaliknya
yang juga salah dan bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu menuduh setiap orang
melakukan sesuatu untuk 'maksud pribadi' dan 'menuruti tuntunan hawa nafsunya
sendiri'.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka,sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan jangan
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing (
mengumpat ) sebagian yang lain..." ( Al-Hujurat: 12 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar